Catatan Membangun Hubungan dengan Media: Kurangi Basa-Basi

Share post
Humas sebaiknya membukakan pintu dan menyediakan informasi seluasnya, bahkan sebelum diminta oleh jurnalis. (Foto: Humas Indonesia)

Dalam menjaga relasi dengan media (media relations) akan lebih mudah apabila humas mudah dihubungi dan cepat dalam memberikan konfirmasi.

JAKARTA, HUMASINDONESIA.ID – Di mata humas, wartawan kadang menjelma menjadi sosok yang menakutkan pada saat organisasi krisis. Sehingga, tidak sedikit dari mereka yang memilih menghindari para pewarta. Demikian menurut Arif Suditomo, Pemimpin Redaksi Direktur Pemberitaan Metro TV di hadapan para peserta Kopi Darat PR Rembuk yang berlangsung di Jakarta, Kamis (9/3/2023).

Pernyataan Arif bukan tanpa sebab. Tapi, berdasarkan pengalamannya malang melintang sebagai jurnalis televisi. Menurut pria yang hari itu membawakan presentasi berjudul Understanding Indonesian Media Landscape, cara menghindari yang kerap dilakukan oleh humas dikarenakan adanya kekhawatiran liputan dan informasi yang ingin digali oleh wartawan bakal mencederai reputasi organisasi.

Padahal, menurutnya, media adalah cerminan dari masyarakat. Tugas pewarta adalah menjawab pertanyaan publik terhadap suatu peristiwa. Sementara humas, menyediakan informasi dan menjaga reputasi institusi. “Kalau masyarakatnya happy, media juga tentu akan happy. Kalau ada persoalan, maka media juga membahasnya. Sikap ini, tercermin dari editorial media,” ujarnya.

Oleh sebab itu, humas dan jurnalis sebenarnya memiliki kesamaan landasan. Yakni, menyediakan informasi sejelas-jelasnya kepada publik. Kesamaan tujuan inilah yang harus dipahami oleh humas dan diwujudkan dalam media relations yang baik. Salah satu caranya, kata Arif, dengan membukakan pintu dan menyediakan informasi seluasnya, bahkan sebelum diminta oleh jurnalis.

Ia memberi contoh pengalamannya saat meliput peristiwa jatuhnya maskapai asal Singapura di tahun ’90-an. Maskapai tersebut memberikan rilis ke ruang redaksi bahkan sebelum kabar insiden itu terendus oleh awak media. Mereka kemudian mendirikan crisis center, bahkan hotline yang bisa diakses selama 24 jam. Dampaknya, perusahaan dapat meraih kembali kepercayaan dan citra positif di mata publik. “Semua informasi menjadi terkendali. Tidak ada kesempatan bagi media untuk menulis informasi yang liar,” ujarnya.

Bandingkan ketika ia meliput kecelakaan pesawat pada maskapai Indonesia yang juga terjadi di tahun ‘90-an. Karena sulit mendapat konfirmasi dari pihak perusahaan, media arus utama pun menurunkan laporan yang kelam mengenai peristiwa tersebut. Reputasi maskapai tergerus imbas dari ketidaksiapan perusahaan ketika menghadapi krisis. 

Berangkat dari dua peristiwa tersebut, Arif menyimpulkan, semakin cepat media memperoleh konfirmasi, maka akan semakin mudah bagi humas untuk mencegah isu itu melebar. “Sebaiknya jangan maximum politeness, tapi minimum information. Alias, percuma bersikap sangat sopan, tapi wartawannya tidak diberi informasi,” sambungnya.

Anggota DPR RI periode 2009-2014 ini juga mengingatkan agar praktisi humas tidak lagi berpatok pada metode media relations konvensional seperti berkunjung ke kantor redaksi. “Pandemi COVID-19 telah mengajarkan kita semua untuk memaksimalkan website dan akun YouTube untuk merilis data dan informasi dengan efisien,” katanya. Menurut Arif, cara-cara ini akan sama-sama mempermudah kedua belah pihak, baik wartawan maupun humas. (SGS)

 


Share post

Tentang Penulis
Humas

Humas