Praktisi humas (public relations/PR) memiliki tantangan besar untuk membuat konten menarik di media sosial. Salah satu metode yang bisa dipakai adalah dengan teknik bercerita.
YOGYAKARTA, HUMASINDONESIA.ID – Fenomena banjir informasi tak bisa dihindari sejak era transformasi digital mengemuka. Tantangan ini harus dihadapi oleh praktisi public relations (PR), khususnya mereka yang bekerja di ranah institusi pemerintahan. Terlebih konten-konten hiburan milik artis terkenal lebih mudah viral dibanding konten yang bersifat informatif. Oleh karenanya, trik jitu dengan bercerita bisa menjadi solusi yang tepat agar konten di media sosial lembaga pemerintah dapat diterima oleh audiens.
Adieb Haryadi membagikan tiga alasan utama mengapa teknik bercerita menjadi jalan manjur untuk menggaet audiens di dunia maya. Pertama, konten dengan teknik bercerita akan lebih menonjol. “Di era sekarang, membuat konten itu seperti berkompetisi. Teknik bercerita bisa menjadi salah satu cara untuk lebih membuat konten lembaga pemerintah menonjol dibanding konten yang lain,” jelas Direktur Informasi Awrago tersebut dalam acara webinar Pengelolaan Media Sosial Pemerintah: Strategi Pengemasan Pesan dan Teknik Bercerita. Acara webinar ini diselenggarakan oleh Direktorat Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik Kementerian Komunikasi dan Informatika, Jumat (4/11/2022), yang dimonitor oleh HUMAS INDONESIA.
Kedua, konten bercerita dapat mengoneksi antara pengirim pesan dengan media dan penerima pesan. Adieb menyebutkan bahwa kadangkala audiens tidak memahami maksud dan tujuan dari pesan yang disampaikan melalui konten. Oleh karenanya, teknik bercerita dapat membantu relevansi interpretasi antara pesan yang ingin disampaikan kepada penerima pesan. Ketiga, membuat audiens mau menjalankan pesan yang ditulis. “Cerita yang kuat akan membuat pesan melekat di penerima pesan yang membuatnya lebih mudah untuk ditindaklanjuti,” tuturnya.
Lebih lanjut, pria yang juga merupakan Ketua Dewan Pengurus Government Social Media Summit (GSMS) itu menjelaskan ada enam tahapan yang harus dilakukan dalam membuat cerita untuk konten di media sosial. Keenam tahapan tersebut antara lain identifikasi audiens, menentukan hierarki pesan, membuat garis besar cerita, membuat draf cerita, meninjau cerita, serta finalisasi cerita.
Dalam menentukan identifikasi audiens, praktisi humas dapat memanfaatkan fitur data analitik dari platform media sosial. Dari data tersebut, PR bisa menetapkan strategi untuk meraih engagement dan sentimen dari publik. Kemudian, yang dimaksud dengan hierarki pesan adalah menentukan pesan mana yang layak untuk dimuat.
“Pemerintah biasanya punya kebijakan dan harus dipublikasikan. Tapi tidak mungkin humas menyebarkan dokumentasinya yang banyak di media sosial. Kita harus kemas supaya orang mudah membaca. Mana yang paling penting, cukup penting, tidak penting, tidak perlu, dan lainnya,” ungkap Adieb.
Garis cerita dapat dibuat dengan memilih teknik bercerita yang tepat. Adapun draf cerita bisa dengan menambahkan gambar dan video dalam sebuah konten. Yang terpenting, meninjau cerita sebelum proses finalisasi (tahap diunggah) untuk dilakukan. Di tahap ini, praktisi PR bisa merevisi konten apabila diperlukan untuk sebuah konten.
Konten Autentik
Cerita sebuah konten media sosial seyogianya autentik. Maksudnya, konten yang dipublikasikan harus sesuai dan jujur. “Publikasi konten harus sesuai dengan aktivitas yang dikerjakan. Jangan sampai rilis konten berbeda dari realitas sebenarnya, nanti akan memancing amarah warganet,” ungkap Adieb.
Tidak cukup dengan ide yang autentik, konten media sosial juga harus memiliki empati dan bersifat positif. Hal ini berbeda dengan konsep David J.P Phillips dalam The Magical Science of Storytelling, sebagaimana ia paparkan dalam acara TEDxStcokholm tahun 2017 lalu yang mengatakan bahwa konten harus bersifat menghibur dan positif. Menurut Adieb, khusus untuk konten media sosial pemerintah, konten tidak perlu bersifat menghibur tetapi harus bernilai positif.
“Karena ini sifatnya menjelaskan kinerja yang sudah dilakukan oleh institusi pemerintah kepada publik, maka pesan yang harus disampaikan tidak perlu menghibur. Tetapi harus diberi optimisme dan nilai positif bahwa kinerja yang telah dilakukan oleh pemerintah membawa dampak baik bagi publik,” pungkasnya. (AZA)
