Mengenal Propaganda dan Agitasi dalam Strategi Komunikasi Politik

Share post
Dedi Kurnia Syah Putra, Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO). Foto: rmol.id

Propaganda dan agitasi merupakan dua strategi komunikasi politik yang efektif dijalankan untuk meraup suara dalam kontestasi politik.

YOGYAKARTA, HUMASINDONESIA.ID Propaganda dan agitasi merupakan strategi yang sering digunakan dalam komunikasi politik. Tujuan keduanya sama, yakni memengaruhi opini publik dan memperkuat posisi politik, seperti banyak digunakan politisi jelang Pemilihan Umum (Pemilu) 2024.

Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO) Dedi Kurnia Syah Putra dalam MAW Talk episode #37, Rabu (31/1/2024) mengatakan, ide membangun 40 kota setara Jakarta yang disuarakan Calon Presiden Anies Baswedan termasuk propaganda. Sama halnya dengan makan siang gratis yang digencarkan Prabowo Subianto, maupun internet gratis yang digaungkan Ganjar Pranowo.

Sementara agitasi, salah satu contohnya seperti dilakukan Sekretaris Daerah Kabupaten Takalar, Sulawesi Selatan, Muhammad Hasbi. Ia sempat mengampanyekan salah satu calon wakil presiden di hadapan para guru yang belum diangkat menjadi PPPK. “Pak Jokowi sudah janjikan. Kalau anaknya menang, Insyaallah akan dilanjutkan program pengangkatan CPNS jutaan,” ujarnya seperti dikutip dari Kumparan, Rabu (10/1/2024).

Ungkapan tersebut termasuk dalam agitasi, karena sarat makna agar masyarakat mencoblos kandidat tertentu demi peluang diangkat menjadi pegawai negeri sipil (PNS). Narasi demikian juga dapat memberikan perspektif bahwa kandidat lain tidak memikirkan nasib guru tersebut.

Realitas yang Harus Dihindari

Dedi menjelaskan, propaganda dapat diartikan sebagai aktivitas komunikasi yang berorientasi mengajak orang lain memiliki pendapat yang sama. Sementara agitasi memberikan penekanan bahwa propaganda bukan hanya sekadar dipahami tetapi juga harus diikuti. “Agitasi biasanya diikuti dengan tekanan maupun ancaman,” ujar Dedi.

Menurut dosen Hubungan Masyarakat Universitas Telkom itu, kedua strategi tersebut efektif dijalankan untuk meraup suara dalam pemilu. Hal ini berkaitan dengan durasi komunikasi politik yang relatif pendek. Sebagai catatan, Komisi Pemilihan Umum (KPU) menetapkan masa kampanye Pemilu 2024 kurang dari tiga bulan, yakni 28 November 2023 sampai 10 Februari 2024.

Meski efektif, gaya komunikasi politik tersebut dapat berdampak kurang baik bagi masyarakat. Menurut Dedi, publik menjadi lebih gampang terpecah belah karena perbedaan pilihan. “Karena dibangun dengan kondisi yang instan dengan agitasi dan segala macam, jangan heran kalau kemudian ada orang berkelahi gara-gara beda pilihan,” ujarnya.

Dedi menegaskan, publik harus bisa memilah dua sisi yang dihadirkan komunikasi politik untuk membangun iklim politik yang substansial. “Komunikasi politik ini, satu sisi adalah realitas, satu sisi harus kita hindari. Tugas kita membangun iklim politik yang lebih ke arah substansial,” pungkasnya. (AZA)


Share post

Tentang Penulis
Humas

Humas