Sudah dua jam berlalu, namun Endra tak kunjung datang. PR INDONESIA yang sudah menunggu di ruangannya di Jakarta, Selasa (11/12/2018), nyaris putus asa. Tak seperti biasanya, tapi ayah dari dua anak tersebut punya alasan khusus, dan itu di luar kuasanya. Setibanya di lokasi, peraih trofi Silver Insan PR INDONESIA 2018 untuk kategori Kepala Biro Humas ini segera menyalami kami sembari meminta maaf. Awalnya, karena satu dan lain hal, kami sepakat melakukan pemotretan terlebih dulu. Meski berupaya profesional, namun mood-nya masih belum begitu bagus. Akhirnya, strategi pun diubah.
Tanpa terasa sudah lebih dari dua tahun Endra mengemban amanah sebagai Kepala Biro Komunikasi Publik Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (KemenPUPR). Awalnya, ia sempat mempertanyakan alasan di balik kebijakan itu. Namun, akhirnya Endra bisa membuktikan—bukan hanya kepada institusinya, tapi dirinya sendiri—bahwa ia mampu menaklukkan rasa ketidakmampuan hingga membawa biro ini ke level yang lebih strategis. Dari hasil penelusuran wawancara secara eksklusif selama dua jam bersama Ratna Kartika dan Dwi Siti Romdhoni, dapat ditarik kesimpulan, latar belakang sebagai engineer dan hobinya bermain caturlah yang menjadi salah satu kunci kesuksesannya. Ingin tahu mengapa? Berikut kutipannya.
Reaksi spontan apa yang Anda lontarkan saat mendapat amanah sebagai Kabiro Komunikasi Publik KemenPUPR?
Saya bilang ke Pak Menteri (Basuki Hadimuljono, Menteri PUPR), “Pak, saya big zero di bidang ini. Saya tidak paham sama sekali tentang kehumasan.” Ketika itu permintaan beliau hanya satu: belajar. Sejak saat itulah saya berkenalan dengan yang namanya PR.
Memang apa latar belakang pendidikan Anda?
Sejak SMA, saya dididik di lingkungan fisika. Ketika kuliah pun saya memilih Program Studi Teknik Lingkungan, Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan, Institut Teknologi Bandung (ITB). Setahun setelah lulus, tahun 1996, saya diterima bekerja di KemenPUPR, tepatnya Direkorat Jenderal Cipta Karya. Hingga tahun 2000, saya lebih banyak bekerja di bidang keinsinyuran. Setelah itu, saya ditempatkan di bagian planning and programming selama 15 tahun. Di bagian itu, saya tidak lagi mengurus fisik atau membangun. Tapi, merencanakan, membuat narasi dan urgensi suatu infrastruktur mesti dibangun. Baru pada bulan Agustus 2016, saya ditempatkan di Biro Komunikasi Publik, yang tanpa terasa sudah mau menginjak tahun ketiga.
Apa isu krusial institusi ini?
Pertama-tama, kita memang harus melihat dari konteksnya terlebih dulu. Bahwa saat ini pembangunan infrastruktur yang merupakan tugas pokok KemenPUPR menjadi pilar dari pemerintahan Presiden Joko Widodo dan wakilnya. Kondisi ini berbeda dengan masa sebelumnya. Ketika itu infrastruktur hanya menjadi pendukung. Sekarang, kalau ibaratnya kereta api, kami adalah lokomotif—bagian terdepan dari rangkaian kereta api yang di dalamnya terdapat mesin untuk menggerakkan kereta.
Jadi, mau tidak mau, kegiatan apapun yang kami kerjakan, langkah yang diambil, program yang dicanangkan, dan kebijakan yang ditetapkan, pasti mendapat sorotan publik.
Bagaimana Biro Komunikasi Publik merespons hal tersebut? Seperti apa dinamikanya?
Humas harus selalu berada dalam posisi ready (siap). Pertama, ready dalam menyampaikan informasi yang dibutuhkan publik. Kedua, ready terhadap respons publik sementara respons mereka tidak selalu positif.
Apalagi tahun ini kita memasuki tahun politik. Akan banyak muncul respons yang tidak terduga. Respons itu sendiri ada dua, ada yang bisa kita ukur, ada yang tidak. Nah, di tahun politik ini, respons tidak terduga menjadi lebih banyak. Selama masa itu, apa pun bisa terjadi. Bumbunya banyak sekali dan institusi kami mau tidak mau selalu ada dalam perebutan opini publik.
Sudah mengantisipasi respons yang tidak terukur itu?
Di sinilah tantangan humas. Untuk itu, saya selalu menekankan kepada tim agar selalu aware terhadap lingkungan dan situasi yang berkembang. Saya sendiri rajin mencari dan membaca informasi terkini dari segala lini mulai dari media mainstream, on-line sampai media sosial (medsos).
Bagaimana Anda dan tim berstrategi agar publik tidak salah paham? Karena di tahun politik ini, segala informasi yang keluar dari KemenPUPR kerap dianggap sebagai pencitraan bagi calon presiden petahana.
Kita memang tidak bisa menghindari hal itu. Apalagi jika informasi yang kita sampaikan menyangkut kebijakan Presiden. Kami juga tidak bisa memungkiri, di tahun politik semua informasi bisa dilihat dari dua sisi yang sangat berseberangan dan banyak sudut pandang. Pada akhirnya, kami serahkan kepada masyarakat. Biar mereka yang menilai.
Yang pasti, kami dari KemenPUPR tetap pada koridor profesionalisme, menyampaikan informasi sesuai prinsip jurnalisme, fakta, proporsional, terukur, akurat, dan jujur. Kami juga memastikan bahwa semua aktivitas yang dilakukan wujud dari kinerja kami melayani publik. Informasi yang kita berikan adalah bentuk laporan atau pertanggungjawaban kami kepada publik. Kami (KemenPUPR) tidak berpolitik.
“Informasi yang kami berikan adalah bentuk laporan atau pertanggungjawaban kami kepada publik. Kami (KemenPUPR) tidak berpolitik.”
Biro Komunikasi Publik membidangi apa aja?
Ada empat bidang. Strategi Komunikasi, Publikasi dan Perpustakaan, Humas, dan Pelaporan Pimpinan. Untuk yang terkait Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID), pengaduan, laporan, permintaan data/informasi adanya di Strategi Komunikasi. Kalau Publikasi dan Perpustakaan, urusannya dengan pameran, advertorial, majalah internal, mengelola PUPR TV, website. Sementara humas terkait media relations, press release, medsos yang sifatnya lebih dinamis dan interaktif.
Satu lagi yang tidak kalah penting adalah bidang Pelaporan Pimpinan. Di sinilah hub informasi. Semua bahan untuk menteri masuk ke sini. Tim inilah yang kemudian mengolah bahan yang sudah diterima tadi untuk keperluan menteri seperti sambutan, paparan, keynote speaker, rapat kerja, bahan rakor, sidang kabinet, rapat dengan DPR, kunjungan kerja, dan sebagainya.
Ketika pertama kali mendapat tugas mengelola empat bidang tadi, apa concern Anda?
Saya harus bisa melihat empat bagian tadi menjadi satu kesatuan bisnis proses. Sekarang, bahan dari pelaporan pimpinan langsung digunakan oleh bagian humas untuk kemudian menjadi bahan rilis. Dari rilis, diolah lagi untuk masuk ke medsos, video, begitu seterusnya.
Materi tadi juga bisa digunakan oleh bagian publikasi dan perpustakan untuk majalah internal yang sifatnya feature, advertorial di media cetak, atau kebutuhan pameran. Semua kinerja setiap bagian selanjutnya akan dicek dan pada kasus-kasus tertentu materi tersebut digunakan oleh tim di bagian Strategi Komunikasi.
Jadi, setiap bagian tidak perlu mencari data sendiri-sendiri. Semua satu pintu dan diolah di sini. Kita yang menormalisasi data, membuatnya menjadi informasi yang lebih sederhana, mudah dikonsumsi dan dicerna masyarakat. Tidak ada lagi rilis yang keluar selain rilis yang diproduksi oleh Biro Komunikasi Publik.
Bagaimana dengan pengelolaan medsos mengingat informasi yang pertama kali diterima masyarakat saat ini datangnya lewat handphone?
Nah, ini dia. Ketika saya masuk tahun 2016, kita sudah memiliki akun resmi di empat platform medsos. Antara lain, Facebook, Twiter, Instgram, YouTube. Tapi, total pengikutnya hanya 47 ribu pengikut. Engagement-nya juga kurang. Saya sampai berpikir, “Jangan-jangan selama ini yang follow dan yang komentar hanya karyawan kita saja?” He-he. Apalagi ketika saya bandingkan dengan kementerian lain. Kok, jumlah pengikut akun kami rendah sekali.
Belum lagi ketika saya bandingkan dengan jumlah volume pemberitaan. KemenPUPR ada di peringkat 17 dari 34 kementerian dengan volume pemberitaan hanya berkisar 25 – 26 ribu per tahun. Peringkat kami bahkan ada di bawah beberapa kementerian, yang menurut penilaian pribadi saya, seharusnya PUPR tempatnya tidak di situ. Seharusnya, peringkat kami setara dengan kementerian lain yang juga menjalankan fungsi pembangunan infrastruktur, sebut saja Kementerian Perhubungan, Kementerian ESDM. Sebab, posisi kami ini ada di gerbong utama/lokomotif pemerintahan.
Jadi, apa yang sudah kami capai selama ini enggak masuk dalam nalar saya. Kita berada di tempat yang tidak seharusnya.
Apa yang Anda dan tim lakukan?
Kami sepakat untuk mengubah cara bekerja dari yang tadinya hanya mengandalkan website, di mana orang baru akan mengakses informasi tersebut kalau perlu, menjadi kita antarkan informasi itu sampai ke handphone mereka. Baik dalam bentuk rilis harian—rilis yang sudah kita sempurnakan dan padatkan informasinya hanya sekitar 400 kata agar ketika dibaca melalui WhatsApp tidak perlu read more—maupun foto-foto yang didapat di lapangan yang sudah kita seleksi dan mengandung unsur instragrammable.
Sebelum sampai pada kebijakan itu, awalnya saya perhatikan dulu cara fotografer dan videografer kami bekerja. Setelah itu, saya bertanya, “Kamu tadi jeprat-jepret, hasilnya dikemanakan?” Ternyata hanya disimpan untuk dokumentasi. Foto yang disampaikan ke publik hanya satu: Menteri sedang gunting pita. Itu pun resolusinya kecil. Sementara penyebarannya hanya lewat satu kanal komunikasi, situs KemenPUPR. Komentar pembaca hanya 1 - 2 orang dan tidak ada engagement.
Tadinya, informasi yang kami beritakan ke publik masih didominasi oleh berita dan foto seremoni. Padahal yang kami inginkan, publik memahami pesan yang kita sampaikan dan berharap informasi tersebut mampu mengubah pola pikir mereka.
Jadi, kami pun memasang target. Dalam setahun pertama, misalnya, jumlah total followers di empat medsos kami harus mencapai 60 ribu pengikut, peringkat volume pemberitaan juga naik. Langkah itu hanya bisa kita capai kalau kita punya key perfomance index (KPI) di masing-masing tim. Misalnya, minimal tiga kali mengunggah materi per hari di Instagram, enam kali unggahan dalam sehari di Twitter, video baru dua hari sekali di YouTube. Kami juga membuat target dalam setahun ini mampu memproduksi sepuluh video. Saat ini kami sudah memproduksi delapan video, sisa dua lagi.
(Endra memperlihatkan beberapa video yang dimaksud, mulai dari video membangun jalan, jalan tol, bendungan, perbatasan, sampai transformasi Stadion GBK dalam rangka menyambut Asian Games dan Asian Para Games 2018. Semua video yang diproduksi mengandung unsur seni dan artistik tinggi, serta iringan musik rock and roll. “Supaya terbentuk image KemenPUPR bekerja dengan cara yang tidak biasa,” katanya beralasan.)
Selain bicara soal kuantitas, kita juga menciptakan standar baru soal kualitas unggahan, seperti yang sudah saya sampaikan di atas. Kami juga berupaya membangun engagement, misalnya membuat lomba selfie di jembatan atau tol yang baru diresmikan, trivia PUPR (kuis). Sementara saat weekend, kami menampilkan berita/informasi ringan dan humanis seperti memperlihatkan keseharian Menteri kami saat sedang bertugas atau menyalurkan hobinya memainkan drum ketika senggang. Kami juga membuat meme yang mengundang senyum sekaligus menyentuh.
Sekali lagi, berbagai informasi yang kami kemas sedemikian rupa itu bukan dalam rangka mencari popularitas. Lebih dari itu, dalam rangka laporan, membangun engagement dan mengedukasi publik dengan cara yang kreatif.
Hasilnya, akhir 2016 total jumlah pengikut kami di empat platform tadi naik dari yang tadinya hanya 25 ribu menjadi 60 ribu followers. Akhir 2017, naik lagi jadi 96 ribu followers. Tahun ini jumlahnya sudah mencapai 1,2 juta followers. Semua pengikut kami ini organik, lho. Karena ya, itu tadi, kami mengunggah materi (informasi) secara konsisten dan memenuhi kaidah jurnalistik, artistik, komunikasi secara visual yang relevan sesuai era dan kebutuhan publik saat ini. Saat ini, peringkat volume pemberitaan kita sudah berada di urutan ketiga (kategori kementerian) dari yang tadinya ada di peringkat ke-17.
Untuk mencapai target itu, tentu dibutuhkan kompetensi SDM yang mumpuni. Soal kompetensi ini, apakah juga menjadi isu di Biro yang Anda pimpin?
Kami memanfaatkan best optimum use of resources. Institusi kami ini, meski mendapat titipan anggaran yang luar biasa untuk membangun infrastruktur, tapi anggaran untuk humasnya tidak seekstrim yang dibayangkan. Untuk itu, dalam mengelola dan menggunakan anggaran pun harus smart. Kuncinya ada pada memaksimalkan SDM dan berkolaborasi dengan memanfaatkan jejaring yang kami miliki.
(Endra lantas membuka handphone-nya dan memperlihatkan salah satu video pendek berjudul Si Manis Jembatan Ancur. Video yang diadaptasi dari film dan sinetron yang melegenda, Si Manis Jembatan Ancol itu lahir berkat kolaborasi dengan relawan Kolaborasi Asyik. “Mereka yang memproduksi. Tapi, saat proses penyempurnaan cerita, mereka ngobrol dulu dengan kami,” ujarnya. Video bergenre horor tapi dikemas lucu dan informatif ini bercerita tentang si Manis yang tersesat mencari rumahnya. Ternyata jembatan (rumahnya) telah hancur dan sudah dibangun jembatan baru oleh pemerintah. Di akhir video tersirat pesan singkat “Membangun jembatan, menjembatani masa depan”.)
Saya percaya, kompetensi itu bisa kita asah. Apalagi setiap bagian di biro kami sudah punya KPI masing-masing. Bekerja bukan lagi hanya berdasarkan aktivitas menteri. Dengan begitu, mereka jadi terdorong untuk mengasah kompetensi. Bagi saya, kehumasan itu bukan sesuatu yang tidak bisa kita pelajari. Tapi harus kita praktikkan dengan benar dan konsisten jika kita sudah yakin dengan strateginya. Kalau ada kekeliruan segera lakukan corrective action.
Sejujurnya, yang menjadi tantangan sesungguhnya adalah perlu waktu bagi kami untuk mengubah karakter teman-teman. Hampir semua karyawan di sini berlatar belakang engineer yang tipikalnya tidak terbiasa bekerja di bawah spotlight apalagi haus pemberitaan. Kami ini ibarat Musamus (Rumah Semut). Semut itu menganut prinsip, “Jangan tanya kerjaku, tapi lihat karyaku. Bekerja diam tiba-tiba hasilnya menjulang ke angkasa, tanpa merusak lingkungan.”
Di sisi lain, ada fenomena keterbukaan dan desakan dari publik yang menuntut adanya transparansi. Apalagi KemenPUPR saat ini diberi amanah luar biasa besar dalam mengelola dan membelanjakan uang negara yang dihimpun susah payah melalui pajak untuk membangun infrastruktur. Di samping itu, kami juga harus membuka jendela informasi dan pemahaman kepada seluruh masyarakat yang selama ini hanya mengenal kami sebagai pembangun jalan tol. Padahal tanggung jawab kami selain itu banyak mulai dari membangun perumahan, air, bendungan, sampai mengelola sampah.
Jadi, keterbukaan ini juga menjadi satu hal yang menarik karena baru buat kami. Kami juga memberi pemahaman kepada teman-teman bahwa keterbukaan ini bukan dalam rangka KemenPUPR ingin populer, melainkan semata-mata wujud laporan kita kepada publik. Kami tidak butuh popularitas karena tugas dan fungsi kami membangun PUPR ini sudah kewajiban dan tidak tergantikan oleh kementerian lain. (rtn)
